Yogyakarta sebagai kota kerajaan yang terbentuk dari dampak Perjanjian Giyanti (1755) menawarkan tatanan baru pada sistem kelola pemerintahannya. Pasalnya, Pangeran Mangkubumi dikisahkan dalam sastra-babad sebagai pribadi yang pilih tanding. Bukan menyoal kemampuan perang saja, namun kecakapan sosial, tata kota, hingga politik pemerintahan telah teruji sejak menjadi Sunan Kabanaran. Pasca dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, Pangeran Mangkubumi lantas menata kota kerajaan sebagai bagian dari tanah merdeka. Beberapa catatan terkait pemerintahan Sultan dapat ditinjau dalam Babad Ngayogyakarta, Babad Mentawis, maupun Babad Tanah Jawi.
Perjalanan pemerintahan Yogyakarta sebagai kota kerajaan yang terbuka, tidak selalu berjalan mulus. Beberapa keterbukaan justru memicu konflik hingga perang, sebut saja Geger Sepehi (1812) dan Perang Jawa (1825-1830). Kedua perang tersebut menyajikan gambaran utuh tentang kompleks dan konkritnya sebuah tata pemerintahan Yogyakarta, yang terdiri dari abdi Dalem dan aparatur negara sebagai kelengkapan kedaulatan. Pasca perang-perang besar tersebut, keberadaan aparatur negara dengan komposisi yang kompleks dapat ditemukan pada upacara-upacara besar. Beberapa upacara seperti pisowanan garebeg, pisowanan agustusan, tedhak lodji, maupun jamuan makan malam yang digelar semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mampu memberi gambaran tentang tata pemerintahan dan perlembagaan kelompok abdi Dalem di Keraton Yogyakarta.
Pada satu pembacaan arsip Tedhak Lodji ditemukan informasi bahwa pisowanan tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan 113 kelompok abdi dalem melakukan arak-arakan menuju kediaman residen setiap 1 Januari dan 31 Agustus. Upacara ini tidak hanya bersifat seremonial, melainkan sebagai representasi kekuasaan dari sultan yang bertakhta. Pada arak-arakan tersebut, nampak aparatur dari berbagai daerah Kuthagara maupuan Negaragung yang turut merepresentasikan pemerintahan berdaulat di Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disusun hipotesa secara sederhana bahwa Yogyakarta sebagai kota kerajaan didukung aparatur yang kompleks sesuai kebutuhan pemerintahan periode tersebut. Merujuk pada temuan sejarah, tahun 2025 Keraton Yogyakarta menggelar pameran bertajuk Hamongnagari: Aparatur Negara Yogyakarta. Pada pameran tersebut, atribut pemerintahan yang berupa aparatur negara dipilih menjadi topik utama untuk mengidentifikasi kedaulatan kota kerajaan berdasarkan periode pemerintah Sultan yang berbeda-beda.